Subscribe For Free Updates!

We'll not spam mate! We promise.

Thursday, March 20, 2014

Penjelasan Tentang Al-Insan Al-Kamil


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Insan Al-Kamil
Insan kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Umat Islam sepakat bahwa diantara manusia, Nabi Muhammad SAW. adalah manusia yang telah mencapai derajat kesempurnaan dalam hidupnya. Selama hayatnya, segenap kehidupan beliau menjadi tumpuan perhatian masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun dalam dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya.

Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri tauladan bagi para sahabatnya, baik bagi sahabat yang dekat maupun sahabat yang jauh. Tuhan adalah Maha Suci, yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian roh ini dapat dilakukan dengan meninggalkan hidup kematerian dan dengan pendekatan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan semasih berada dalam hidup ini.

Untuk dapat mencapai insan kamil, seseorang lebih senang dengan menempuh cara hidup sebagai seorang sufi. Kehidupan seorang sufi lebih menonjol segi kerohaniannya dalam hidupannya. Tentu prinsip ajaran yang berkaitan dengan hidup kerohanian akan senantiasa diukur dengan Al-Qur'an dan sunah Nabi SAW.
Hasan Al-Basri (21 H-110 H) adalah seorang zahid dan rohaniwan besar, beliaulah yang mula-mula memperbincangkan berbagai macam yang berkaitan dengan hidup kerohanian tentang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.

Hidup sufi merupakan jalan yang dilalui oleh para ahli sufi untuk menyempurnakan hidupnya dihadapan Tuhan, namun demikian cara hidup sufi yang dilalui atau dijalani oleh para ahli sufi satu dengan yang lainnya tidak serupa. Misalnya Rabiah Ad-Dawiah (seorang sufi perempuan) yang telah menghias lembran sejarah sufi didalam abad kedua Hijriah. Ajaran tasawuf yang dibawanya adalah dikenal dengan istilah “Al-Mahabah”, atau cinta. Ia hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan. Segala hidupnya diperuntukkan kepada Tuhannya dengan sadar rasa kecintaan.

Hasan Al-Basri dalam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan harapan. Hidup kerohanian beliau dijalani dengan cara hidup zuhud didunia, menolak akan kemegahannya, semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf (takut) dan raja (mengharap) keridhaan Allah. Diantara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah: “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram lebih baik dan perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan rasa takut”.

Pendirian hidup dan pengalaman tasawuf Hasan Al-Basri itu dijadikan pedoman bagi seluruh ahli tasawuf dalam usahanya untuk mencapai kesempurnaan hidup. Ajaran mahabbah yang dibawa oleh Rabiah Ad-Dawiah merupakan kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al-Basri. Cinta yang murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan.
Lain halnya dengan Hasan Al-Basri dan Rabiah Ad-Dawiah. Lain pula Zunnun Al-Basri yang hidup tahun 156 H-245 H. Selain sebagai sufi, beliau juga seorang filosuf. Ajaran tasawuf yang dibawa oleh beliau dikenal dengan istilah ma’rifat. Menurutnya ma’rifat adalah cahaya yang dilimpahkan ke dalam hati seseorang sufi.

Dalam dunia yang masyarakatnya tempat berkembang seringkali menghadapi problema seperti kesenjangan antara nilai-nilai duniawiyah dengan nilai-nilai ukhrawiyah. Dalam situasi demikian tasawuf merupakan kendaraan pilihan untuk mengatasi masalah ini.
Dalam kalangan generasi muda yang tertarik menempuh jalan tasawuf lebih mencari ajaran tasawuf yang lebih memadukan keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Maka saat-saat kontemplasi diinterprestasikan bukan sebagai alat untuk mengisolir diri dari masyarakat, tetapi lebih dari itu merupakan saat untuk merenung, menyusun konsep dan berinovasi untuk kemudian melakukan perubahan sosial dengan acuan Al-Qur'an dan Hadits.

B. Konsep Spiritual Insan Kamil
Konsep insan kamil yang di ungkapkan oleh para tokoh tasawuf sebenarnya sedikit perbedaan yang muncul, yang pasti perbedaan tersebut tidak bersifat esensial ada titik persamaannya yaitu bahwa manusia adalah sebagai wadah tajalli Tuhan atau manusia sebagai cermin Tuhan. Namun dari konsep-konsep yang ada ada. Dibawah ini akan dibahas konsep insan kamil menurut beberapa tokoh tasawuf:

1. Konsep Al-Hallaj
Konsep Al-Hallaj tentang insan kamil bermuara dari doktrin Al-Hulul, yang ketika hulul lidah al-Hallaj mengucapkan “Ana ‘l-Haqq”. Munurutnya manusia(adam) adalah sebagai penampakan lahir dari citra Tuhan yang azali kepada zat-Nya yang mutlak yang tidak mungkin di sifatkan itu. Lebih jauh Al-Hallaj berpendapat bahwa Allah mempunyai dua unsur dasar yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut), demikian juga manusia. Sehingga mungkin saja terjadi penyatuan antara Allah dan manusia dan hal itu akan terjadi ketika manusia telah membersihkan batinnya sehingga sifat-sifat kemanusiaan lebur ke dalam sifat-sifat ketuhanan, kejadian itu dinamakan hulul. Saat itulah manusia telah mencapai derajat kesempurnaanya.

Disamping itu Al-Hallaj juga mengemukakan teori “Nur Muhammad (Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah). Baginya Nabi Muhammad mempunyai dua esensi. Pertama esensinya sebagai nur (cahaya) azali yang qadim yang menjadi sumber segala ilmu dan ma’rifat, pandangan ini sesuai dengan hadits qudsi yang mengatakan ”Kalau bukan karenamu tidak akan ku ciptakan alam semesta ini”. Kedua Muhammad sebagai esensi baru yang terbatas dalam ruang dan waktu. Nabi Muhammad adalah contoh manusia sempurna dalam Islam.

2. Konsep Ibn ‘Arabi
Berbicara tentang Ibn ‘Arabi tidak akan lepas dari doktrin wahdatul wujud dengan tajalli Tuhan yang selanjutnya membawa kepada ajaran insan kamil. Mengenai insan kamil Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa insan kamil adalah duplikasi Tuhan (Nuskhah Al-Haqq).

Yang paling tampak kekamilannya di antara manusia adalah Nabi Muhammad. Di belakang Nabi terdapat Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah (kebenaran atau esensi Muhammad) yang merupakan kekuasaan kreatif Tuhan. Insan kamil adalah tujuan penciptaan, yang merupakan mikrokosmos yang merefleksikan keagungan Tuhan, makrokosmos. Karena para nabi adalah refleksi manusia sempurna maka mereka adalah wali (sahabat) Tuhan. Kualitas ini lebih tinggi daripada kualitas kenabian.

Menurut Ibn ‘Arabi manusia mempunyai dua aspek. Jika menurut Al-Hallaj manusia mempunyai dua unsur, maka Ibn ‘Arabi menggabungkan keduanya menjadi satu aspek yaitu aspek batin yang merupakan esensi, aspek ini disebut Al-Haqq. Kedua aspek luar yang merupakan aksiden desebut Al-Khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda tapi dalam aspek batinnya satu, yaitu Al-Haqq.

3. Konsep al-Jili
Dalam kitabnya Al-Insan Al-Kamil fi Ma’rifah Al-Awakhir wa Al-Awa’il, Al-Jili mengidentifikasi insan kamil dalam dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak yaitu Tuhan. Kedua, insan kamil yang jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-safat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya.

Al-Kamal (kesempurnaan) menurut Al-Jili (1975) (dalam H.M. Amin Syukur, 2002) mungkin dimiliki manusia secara potensial (bil quwwah), dan mungkin pula secara aktual (bil fi’li) seperti yang terdapat pada diri wali dan Nabi, namun intensitasnya berbeda-beda, dan yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad. Al-Jili juga menandaskan bahwa insan kamil merupakan mikrokosmos dan makrokosmos, jami’ al-haqaiq al-wujudiyah, qalbnya = arasy), aqalnya = qalam, nafsnya = lauh al-mahfudz, mudrikahnya = kaukab, al-qawiy = al-muharrikahnya = asy-syams, dan lain sebagainya.

Proses tajalli menurut konsep Al-Jili sebenarnya di mulai dari tajalli Dzat pada Sifat dan Asma kemudian pada perbuatan-perbuatan sehingga tercipta alam semesta. Akan tetapi dalam rangka meningkatkan martabat rohani, tajalli tersebut di tempatkan pada urutan terbalik, di mulai tajalli perbuatan-perbuatan (tajalli al-af’al), tajalli nama-nama (tajalli al-asma’), tajalli sifat-sifat (tajalli al-shifat), dan yang terakhir tajalli dzat (tajalli al-dzat).

Al-Jili mempunyai konsep tanazul (turun) dan taraqqi (pendakian), dalam pengalaman Al-Jili proses tanazul Tuhan mengambil tiga tahap yaitu ahadiyah, huwiyah dan aniyah. Pada tahap ahadiyah Tuhan dalam keabsolutan-Nya baru keluar dari al-‘ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiyah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Dan tajalli Tuhan yang paling sempurna terdapat pada insan kamil.

Untuk mencapai tingkat insan kamil sufi mesti mengadakan taraqqi melalui tiga tingkatan yaitu: bidayah, tawassuth, dan khitam. Pada tingkat bidayah seseorang mulai dapat merealisasikan asma-asma dan sifat-sifat Tuhan. Pada tingkat tawassuth seseorang tampak sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih sayang Tuhan. Terakhir pada tingkat khitam seseorang telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Pada tingkat inilah seorang sufi menjadi insan kamil.

4. Konsep Nuruddin Al-Raniri
Insan kamil bagi Al-Raniri adalah hakikat Muhammad, merupakan hakikat pertama yang lahir dari tajalli Satu Dzat kepada dzat yang lain (Allah dengan Nur Muhammad). Hakikat Muhammad itu menghimpun seluruh kenyataan yang ada, karena seluruh alam ini merupakan wadah bagi Asma dan Dzat Allah. Dari sini posisi insan kamil menjadi penting bagi semua keberadaan alam ini dan sekaligus sebagai cermin Allah untuk melihat hasil perjalanannya. Jadi seseorang bisa dikatakan insan kamil ketika dia telah memiliki Nur Muhammad dalam dirinya, yang dengan itu menjadi wadah tajalli Ilahi yang paripurna.
Selain itu insan kamil juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan makna. Maksud dengan dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah itu terjadi dari wujud Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata lain, dia diciptakan dari sebab wujud-Nya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Insan kamil artinya manusia yang sempurna. Adapun yang dimaksudkan dengan manusia sempurna adalah sempurna dalam hidupnya. Seseorang dianggap sempurna dalam hidupnya apabila memenuhi kriteria-kriteria tertentu.

Hasan Al-Basri dalam menyempurnakan hidup sufinya didasarkan pada rasa takut dan harapan. Hidup kerohanian beliau dijalani dengan cara hidup zuhud didunia, menolak akan kemegahannya, semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf (takut) dan raja (mengharap) keridhaan Allah. Diantara kata-kata hikmah yang beliau ucapkan ialah: “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram lebih baik dan perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan rasa takut”.

Konsep insan kamil yang di ungkapkan oleh para tokoh tasawuf sebenarnya sedikit perbedaan yang muncul, yang pasti perbedaan tersebut tidak bersifat esensial ada titik persamaannya yaitu bahwa manusia adalah sebagai wadah tajalli Tuhan atau manusia sebagai cermin Tuhan. Namun dari konsep-konsep yang ada ada.

Socializer Widget By Blogger
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →

2 comments: